- BAB I
PENDAHULUAN
Pengajaran hak asasi manusia di perguruan tinggi di Indonesia hingga saat ini masih sangat didominasi oleh pendekatan flosofs dan kultural. Dalam pendekatan yang demikian, pengajaran hak asasi manusia lebih ditekankan pada perbincangan mengenai isu-isu pendasaran konsep hak asasi manusia, asal-usul dan justifkasinya (baik segi legal maupun kultural) yang tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang berkembang saat itu. Selain itu, mata kuliah tersebut diberikan atau diasuh oleh dosen flsafat atau dosen hukum tata negara. Orientasi pengajarannya, dengan demikian, lebih banyak melihat ke dalam (inward looking) Artinya bahwa pengajarannya lebih difokuskan pada pencarian nilai-nilai di dalam negeri, ketimbang membicarakannya sebagai “kode internasional” untuk mengatur hubungan negara-negara setelah Perang Dunia II. Wacana yang dikembangkan dalam pengajaran yang demikian adalah mengontraskan nilai-nilai kultural yang ada di dalam negeri dengan nilai-nilai luar (asing), sehingga mengaburkan wacana hak asasi manusia yang berkembang dalam sejarah politik-hukum di Indonesia sebagaimana akan dipaparkan dalam sub-bab di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hak asasi Manusia?
2. Apa tujuan Hak Asasi Manusia?
3. Bagaimana perkembangan Pemikiran Ham?
4. Ham Pada Tatanan Global Di Indinesia?
5. Apa dan bagaimana permasalahan Dan Penegakan Ham Di Indonesia?
6. Lembaga Penegakan Ham itu apa saja?
7. Kajian Kasus Untuk Hak Asasi Manusia?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Hak Asasi Manusia.
2. Untuk Mengetahui Pengertian Hak Asasi Manusia.
3. Untuk Mengetahui Tujuan Hak Asasi Manusia.
4. Untuk Mengetahui Perkembangan Pemikiran Ham.
5. Untuk Mengetahui Ham Pada Tatanan Global Di Indinesia.
6. Untuk Mengetahui Permasalahan Dan Penegakan Ham Di Indonesia.
7. Untuk Mengetahui Lembaga Penegakan Ham.
8. Untuk Mengetahui Kajian Kasus Untuk Hak Asasi Manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
Ham adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia. Menurut Marthen Kraile HAM adalah hak yang bersumber dari Allah, Jack Donnaly, mengatakan bahwa HAM adalah hak yang bersumber dari hukum alam, tetapi sumber utamanya dari Allah. Sedangkan menurut DF. Scheltens, mengemukakan bahwa HAM adalah hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia di lahirkan menjadi manusi. Karenanya HAM harus dibedakan dengan hak-hak dasar, dimana HAM berasal dari kata “Mensen Rechten”, sedangkan hak dasar berasal dari kata “Grond Rechten”. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa ”Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
B. Tujuan Hak Asasi Manusia
HAM, ialah memiliki fungsi utama yakni untuk menjamin dan melindungi hak-hak kelangsungan hidup, kebebasan, kemerdekaan yang tidak dapat boleh diganggu gugat oleh siapapun dan hak-hak tersebut sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 27 sampai pasal 34, adapun contoh-contoh tujuan HAM antara lain sebagai berikut:
Melindungi orang dari kekerasan atau sewenang-wenang
Mengembangkan rasa saling menghargai antar manusia.
Mendorong tindakan yang dilandasi kesadaran atau tanggung jawab untuk menjamin bahwa hak-hak orang lain tidak dilanggar.
C. Perkembangan Pemikiran Ham.
Perkembangan Pemikiran Ham, Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, membantu kita, untuk memahami dengan lebih baik perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Ahli hukum dari Perancis itu membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan” Menurut Vasak, masing-masing kata dari slogan itu, sedikit banyak mencerminkan perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda. Penggunaan istilah “generasi” dalam melihat perkembangan hak asasi manusia memang bisa menyesatkan. Tetapi model Vasak tentu saja tidak dimaksudkan sebagai representasi dari kehidupan yang riil, model ini tak lebih dari sekedar suatu ekspresi dari suatu perkembangan yang sangat rumit. Bagaimana persisnya generasi-generasi hak yang dimaksud oleh Vasak? Di bawah ini adalah garis-garis besarnya:
1. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hakhak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.
2. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut-bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian. Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan programprogram bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Contohnya, untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, negara harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja. Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” yang karena itu dianggap bukan hak yang “riil”. Namun demikian, sejumlah negara (seperti Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.
3. Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”.Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut:
a. Hak atas pembangunan.
b. Hak atas perdamaian.
c. Hak atas sumber daya alam sendiri.
d. Hak atas lingkungan hidup yang baik,dan
e. Hak atas warisan budaya sendiri.
Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.
Keberkaitan(Indivisibility) dan Kesalingtergantungan(Interdependence)
Antonio Cassese pernah mengatakan bahwa Deklarasi Universal. Hak Asasi Manusia merupakan buah dari beberapa ideologi, suatu titik temu antara berbagai konsep mengenai manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, apa yang ada dalam Deklarasi tersebut tidak lain adalah kompromi. Negara Barat mungkin memang telah memberikan kontribusi yang signifkan bagi pendekatan internasional terhadap hak asasi manusia. Kontribusi-kontribusi tersebut tidak diragukan lagi telah membantu pengembangan teori modern hak asasi manusia. Menurut catatan sejarah, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan produk suatu era yang didominasi oleh “Negara Barat”, dan sedikitnya merefleksikan suatu konsep barat tentang hak asasi manusia. Terdapat pengaruh faham liberal-Barat dalam daftar pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dianggap sebagai “suatu standar bersama yang merupakan sebuah pencapaian bagi seluruh umat manusia dan seluruh bangsa.” Tetapi juga dapat dilihat di dalamnya kontribusi kaum Sosialis, terutama mengenai apa yang kemudian disebut Hak Ekonomi,SosialdanBudaya. Adalah Karl Marx, yang melalui kritiknya atas konsep “kebebasan” yang memberi kontribusi sangat penting bagi pandangan universal terhadap hak asasi manusia. Pemikirannya kemudian berkembang ke suatu ide untuk saling menyeimbangkan antara konsep liberal kebebasan individu dan konsep hak warga negara. Di kemudian hari, negara-negara dunia ketiga juga memberikan kontribusi penting dalam menegaskan eksistensi hak asasi manusia. Dekolonisasi dan munculnya sejumlah negara-negara merdeka baru sedikit banyak merefleksikan kemenangan hak asasi manusia, terutama hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dalam forum internasional. Kondisi inilah yang di kemudian hari berujung pada pengakuan terhadap hak kolektif atau hak kelompok. Dengan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa semua pihak yang berperan dalam apa yang kita kenal sekarang sebagai dunia modern telah turut memberi kontribusi penting dalam konteks pengakuan universal terhadap hak asasi manusia. Ini berarti bahwa dalam konteks historis, konsep hak asasi manusia telah diakui secara universal. Terlepas dari inkosistensi dan multi-interpretasi prinsip-prinsip hak asasi manusia, terutama dalam hal intervensi kemanusiaan atau prinsip non-intervensi, negara-negara anggota PBB tetap mencapai kemajuan dalam menegakkan hak asasi manusia. Perbedaan pandangan antara negara-negara maju/Barat, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak individu, sipil dan politik, dengan negara-negara berkembang/Timur, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak kelompok, ekonomi dan sosial, berujung pada penciptaan suatu kesepakatan bahwa hak asasi manusia harus diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Artinya, hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya saling berkaitan (indivisible) dan saling membutuhkan (interdependence), dan harus diterapkan secara adil baik terhadap individu maupun kelompok. Hubungan antara berbagai hak yang berbeda sangatlah kompleks dan dalam prakteknya tidak selalu saling menguatkan atau saling mendukung. Sebagai contoh, hak politik, seperti hak untuk menjadi pejabat publik, tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu terpenuhinya kepentingan sosial dan budaya, seperti tersedianya sarana pendidikan yang layak.
D. Ham Pada Tatanan Global Di Indonesia
Sebelum konsep HAM diritifikasi PBB, terdapat beberapa konsep utama mengenai HAM, yaitu:
Ham menurut konsep Negara-negara Barat
meninggalkan konsep Negara yang mutlak.
Ingin mendirikan federasi rakyat yang bebas.
Filosofi dasar: hak asasi tertanam pada diri individu manusia.
Hak asasi lebih dulu ada daripada tatanan Negara.
HAM menurut konsep sosialis;
Hak asasi hilang dari individu dan terintegrasi dalam masyarakat
Hak asasi tidak ada sebelum Negara ada.
Negara berhak membatasi hak asasi manusia apabila situasi menghendaki.
HAM menurut konsep bangsa-bangsa Asia dan Afrika:
Tidak boleh bertentangan ajaran agama sesuai dengan kodratnya.
Masyarakat sebagai keluarga besar, artinya penghormatan utama terhadap kepala keluarga
Individu tunduk kepada kepala adat yang menyangkut tugas dan kewajiban sebagai anggota masyarakat.
HAM menurut konsep PBB
Konsep HAM ini dibidani oleh sebuah komisi PBB yang dipimpin oleh Elenor Roosevelt dan secara resmi disebut “ Universal Decralation of Human Rights”. Universal Decralation of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang mempunyai:
Hak untuk hidup
Kemerdekaan dan keamanan badan
Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hokum
Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana
Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu Negara
Hak untuk mendapat hak milik atas benda
Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan.
Hak untuk bebas memeluk agama
Hak untuk mendapat pekerjaan.
Hak untuk berdagang
Hak untuk mendapatkan pendidikan
Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat
Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.
E. Permasalahan dan Penegakan HAM di Indonesia
Sejalan dengan amanat Konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuanyang tidak dapat di pisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. Sesuai dengan pasal 1 (3), pasal 55, dan 56 Piagam PBB upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui sutu konsep kerja sama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan, dan hubungan antar negaraserta hukum internasional yang berlaku. Program penegakan hukum dan HAM meliputi pemberantasan korupsi, antitrorisme, serta pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten. Kegiatan-kegiatan pokok penegakan hukum dan HAM meliputi hal-hal berikut:
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dari 2004-2009 sebagai gerakan nasional
Peningkatan efektifitas dan penguatan lembaga / institusi hukum ataupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia
Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warga Negara di depan hukum melalui keteladanan kepala Negara beserta pimpinan lainnya untuk memetuhi/ menaati hukum dan hak asasi manusia secara konsisten serta konsekuen
Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam rangka menyelenggarakan ketertiban sosial agar dinamika masyarakat dapat berjalan sewajarnya.
Penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan Rencana, Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi.
Peningkatan penegakan hukum terhadao pemberantasan tindak pidana terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat lainnya.
Penyelamatan barang bukti kinerja berupa dokumen atau arsip/lembaga Negara serta badan pemerintahan untuk mendukung penegakan hukum dan HAM.
Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektifitas penegakan hukum dan HAM.
Pengembangan system manajemen kelembagaan hukum yang transparan.
Peninjauan serta penyempurnaan berbagai konsep dasar dalam rangka mewujudkan proses hukum yang kebih sederhana, cepat, dan tepat serta dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat
Adapun contoh-contoh pelanggaran HAM tersebut antara lain sebagai berikut:.
Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada setiap mahasiswa.
Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Masyarakat kelas bawah mendapat perlakuan hukum kurang adil, bukti nya jika masyarakat bawah membuat suatu kesalahan misalkan mencuri sendal proses hukum nya sangat cepat, akan tetapi jika masyarakat kelas atas melakukan kesalahan misalkan korupsi, proses hukum nya sangatlah lama
Kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri mendapat penganiayaan dari majikannya
Kasus pengguran anak yang banyak dilakukan oleh kalangan muda mudi yang kawin diluar nikah.
F. Lembaga Penegakan Ham
HAM (Hak Asasi Manuasia) merupakan salah satu bagian penting yang wajib dilindungi oleh hukum dan negara. Untuk menegakkan HAM dan meminimalisir hambatan penegakan HAM, maka dibuatlah dan ditetapkannya organisasi atau lembaga-lembaga perlindungan HAM oleh pemerintah maupun swasta. Tegaknya HAM akan bersail tanpa bantuan seluruh pihak baik pemerintah, keluarga, masyarakat, aparat, dan lembaga lain yang berwenang. Berikut ini merupakan penjelasan beberapa lembaga HAM yang ada di Indonesia, adapun diantaranya adalah:
POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia)
Pada tahun 2002, Polri telah ditetapkan sebagai lembaga yang memberikan perlindungan HAM rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tertuang dalam UU (Undang-Undang) No. 2 Tahun 2002 “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegak hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Untuk melaksanakan UU tersebut, polisi harus menjaga supremasi HAM dengan melaksanakan tugas-tugas yang dijelaskan dalam UU yang sama, Polri harus menjaga dan melindungi keamanan masyarakat, tata tertib serta penegakan hukum dan HAM.
Komnas (Komisi Nasional) HAM
Berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 50 Tahun 1993, pemerintah membentuk Komnas HAM untuk meningkatkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Komisi Nasional ini bersifat mandiri dan berasaskan pada Pancasila. Kemudian Keppres ini direvisi yang selanjutnya dikeluarkanlah UU No. 39 Tahun 1999. Di dalam UU tersebut, tujuan Komnas HAM tertuang dalam Pasal 75, yakni Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklasari Universal Hak Asasi Manusia.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan bertujuan untuk memberikan perlindungan pada kaum perempuan. Komnas ini dibentuk pada tanggal 9 Oktober 1998 berdasarkan Keppres No. 181 Tahun 1998 dan diperkuat dengan PP (Peraturan Presiden) No. 65 Tahun 2005. Pada Keppres No. 181 Tahun 1998 dalam Pasal 4 menuangkan tentang tujuan dibentuknya Komnas Perempuan, diantaranya adalah:
Penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung di Indonesia,
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan.
KPAI (Komnas Perlindungan Anak Indonesia)
lembaga perlindungan HAM Pada awalnya KPAI diberinama KPAN (Komisi Perlindungan Anak). Kemudian seiring berjalnnya waktu nama tersebut berubah menjadi KPAI. KPAI memiliki fokus untuk melindungi HAM anak-anak. Didirikannya lembaga ini didasarkan pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas perlindungan terhadap anak. Tugas dari KPAI tertuang pada Pasal 76 dalam UU.
Pengadilan HAM
Pada tahun 2000 dibentuklah Pengadilan HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000. Pengadilan ini dibentuk secara khusus untuk mengadili Pengadilan HAM berkedudukan di kota atau kabupaten yang mana daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk Pada tahun 2004 melalui UU No. 27 Tahun 2004. Keberadaan komisi ini juga menitik beratkan pada pelanggaran ham yang berat selain berupaya dalam rekonsiliasi
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
YLBHI merupakan termasuk salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berdiri sejak tanggal 26 Oktober 1970. Yayasan ini berdiri atas inisiatif Dr. Adnan Buyung Nasution, S. H dan tidak luput dari dukungan Gubernur Jakarta yang menjabat pada saat itu yaitu Ali Sadikin. Yayasan ini bertujuan untuk mendukung kinerja LBH yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. YLBHI memberikan bantuan hukum kepada rakyat miskin untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai korban pelanggaran HAM.
LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Swasta
LBH merupakan suatu lembaga yang didirikan oleh pihak swasta yang pada umumnya anggota dari lembaga ini adalah orang-orang yang berprofesi di bidang hukum yaitu pengacara.
BKBH (Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum) Perguruan Tinggi
Sama halnya dengan LBH swasta, BKBH juga merupakan sebuah LBH namun naungannya berada di bawah perguruan tinggi. Dalam memberikan bantuan hukum
KONTRAS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Pada mulanya Kontras memiliki nama KIP-HAM yang didirikan pada tahun 1996. Namun pada tanggal 20 Maret 1998 organisasi ini berubah nama menjadi Kontras. Kontras merupakan salah satu organisasi yang memperjuangkan hak asasi manusia yang memiliki fokus kepada orang hilang dan korban tindak kekerasan. Hal ini tampak dalam visi yang dijunjung dalam organisasi Kontras yaitu “Terwujudnya demokrasi yang berbasis pada keutuhan kedaulatan rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas alasan apapun, termasuk yang berbasis gender.
G. Kajian Kasus Untuk Hak Asasi Manusia
Dilakukan pelaku merupakan pelanggaran HAM berat berupa Kejahatn Terhadap Manusia. KUHP merumuskan perkosaan terhadap anak yang diatur dalam Pasal 287 sebagai berikut : “barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya di duga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun” Perkosaan yang dilakukan DI dan RA terhadap FM melanggar hak asasi anak. Hak asasi anak yang merupakan hak asasi manusia dilindungi hak-haknya sebagaimana yang didasarkan pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan hukum dari kekerasan dan diskriminasi” Sebagai amanat konstitusi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur seluk-beluk HAM yaitu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang dalam pasal-pasal nya ada ayang mengatur tentang. Perlindungan terhadap hak-hak anak. Perbuatan yang dilakukan DI dan RA dalam penegakan hukum dikenakan Pasal 287 KUHP karena korban yang mana FM masih berumur 13 tahun, pelaku diancam pidana penjara paling lama 9 tahun. Lebih khusus lagi perbutan perkosaan yang dilakukan terhadap FM yang masih berumur 13 tahun dikenakan Pasal 76D jo Pasal 81 ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana dalam Pasal 76D bahwa“setiap orang dilarang melakukan kekerasana atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Sedangkan dalam Pasal 81 orang yang melanggar Pasal 76D akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahu dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
BAB III
PENUTUP
Pertanggungjawaban pelanggaran berat hak asasi manusia oleh rezim masa lalu merupakan agenda bagi setiap pemerintahan transisional karena di sana terkandung hak untuk mengetahui kebenaran (rights to know the truth), hak atas keadilan (rights to justice), dan hak atas martabat manusia (rights to human dignity). Tugas pemerintahan transisi adalah menyediakan mekanisme bagi pertanggungjawaban rezim masa lalu, dan itu tidak hanya menjadi monopoli dari kewenangan yuridiksi universal masyarakat internasional, tetapi juga menjadi kewajiban politik dan hukum setiap pemerintahan transisi. Pilihan mekanisme pertanggungjawaban dapat dilakukan melalui proses hukum (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) atau melalui pengungkapan kebenaran. Masing-masing mekanisme memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing, dan setiap model telah pernah dipraktekkan di pelbagai negara. Untuk kasus kejahatan perang dunia ke-II, tentara Nazi Jerman dan Jepang telah digelar di pengadilan Nurenberg dan Tokyo. Sementara model pengungkapan kebenaran telah dilaksanakan oleh lebih dari 20 negara. Salah satu yang terpenting adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Afrika Selatan: sebuah model KKR yang paling banyak dibicarakan dan menyita banyak perhatian masyarakat internasional. Tugas utamakomisi menurut Agung Putri,(1) mengungkap fakta, yaitu mengungkap kebenaran fakta yang harus mencerminkan kenyataan secara jelas dan jernih. Kebenaran harus bisa menjadi dasar untuk mengubah kebijakan yang mensponsori kekerasan masa lampau. Kebenaran yang manipulatif akan teruji, apakah demokratisasi berlanjut atau terhenti, (2) komisi diperlukan untuk menjelaskan tanggungjawab individu atas kekerasan masa lampau. Juga harus bisa mempertimbangkan bentuk pertanggungjawaban individu yang paling tepat, serta menjelaskan bagaimana pengampunan dapat diberikan, (3) komisi diperlukan untuk merumuskan posisinya di hadapan lembaga peradilan. Apakah menggantikan fungsi peradilan ataukah hanya sebagai pelengkap lembaga peradilan, dan (4) komisi diperlukan untuk menjelaskan fungsinya dalam menyelesaikan trauma korban, keamanan korban dan kerugian yang dialami korban akibat kekerasan masa lampau. Untuk mengakhiri tulisan ini perlu kita ingat petuah O’Donnel dan Schmitter yang dikutifp Ifdal Kasim yang menyatakan :“Sukar untuk membayangkan bagaimana suatu masyarakat dapat berfungsi sampai suatu tingkat yang akan menghasilkan dukungan sosial dan ideologis bagi demokrasi politik jika tidak disertai dengan keberanian menyelesaikan bagian-bagian yang paling menyakitkan di masa lalu. Dengan menolak berkonfrontasi dan membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan dan kebencian paling dalam, suatu masyarakat tidak hanya menguburkan masa lalunya, tetapi juga nilai-nilai etis paling dasar yang mereka butuhkan untuk menciptakan masa depan yang bergairah.”
B. Kesimpulan
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyesuaikan dan mengimbangi antara HAM kita dengan orang lain. Dan kita juga harus membantu negara dalam mencari upaya untuk mengatasi atau menanggulangi adanya pelanggaran-pelanggaran HAM yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Philip Alston, 2014. Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta : Akbar.
udiman,Wahyudi,Rozak,Abdul,2004, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta : Dede Rosyada.
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila,Yogyakarta : parad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar